Siapa yang tak mengenal Umar Ibnul Khathab -radhiallahu’anhu-.
Sosok yang memiliki tubuh kekar, watak yang keras dan berdisiplin yang
tinggi serta tak kenal gentar. Namun di balik sifat tegasnya tersebut
beliau memiliki hati yang lembut.
Suatu hari beliau masuk menemui Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-
di dalam rumahnya, sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil
disisi masjid Nabawi. Di dalam bilik sederhana itu, beliau mendapati
Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- sedang tidur di atas tikar kasar hingga gurat-gurat tikar itu membekas di badan beliau.
Spontan keadaan ini membuat Umar menitikkan air mata karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.
“Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.
“Bagaimana saya tidak menangis, Kisra dan Kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya,” jawab Umar.
Rasulullah kemudian menghibur Umar, beliau bersabda: “Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat…? “.
Beliau shallallahu alaihi wasallam melanjutkan lagi, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya“.
“Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.
“Bagaimana saya tidak menangis, Kisra dan Kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya,” jawab Umar.
Rasulullah kemudian menghibur Umar, beliau bersabda: “Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat…? “.
Beliau shallallahu alaihi wasallam melanjutkan lagi, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya“.
Begitulah sahabat…
Tangisan Umar adalah tangisan yang lahir dari keimanan yang dilandasi tulusnya cinta kepada Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-.
Apa yang dilihatnya membuat sisi kemanusiaannya terhentak dan
mengalirkan perasaan gundah yang manusiawi. Reaksi yang seolah memberi
arti bahwa semestinya orang-orang kafir yang dengan segala daya dan
upaya berusaha menghalangi kebenaran, memadamkam cahaya iman, dan
menyebarkan keculasan dan keburukan, mereka itulah yang semestinya tak
menikmati karunia Allah. Sebaliknya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
yang telah membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya
Islamlah semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak, begitu fikir
Umar.
Tangisan Umar juga memberi arti lain, bahwa betapa tidak mudah bagi
sisi-sisi manusiawi setiap orang bahkan bagi Umar sekalipun, untuk
menerima ganjilnya “pemihakan” dunia kepada orang-orang bejat. Namun
sekejap gundah dan tangisnya berubah menjadi pelajaran bagi orang-orang
beriman sesudahnya. Yaitu apabila kita mengukur hidup ini dengan
timbangan duniawi, maka terlalu banyak kenyataan hidup yang dapat
menyesakkan dada kita.
Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan
dihinakan. Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia bejat dipuja
dengan segala simbol penghargaan. Tak perlu heran, karena Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan akan masa-masa sulit itu.
Masa dimana orang-orang benar didustakan dan orang-orang dusta
dibenarkan.
Tangis Umar juga mengajari kita bahwa dalam menyikapi gemerlapnya
dunia, kita tidak boleh hanya menggunakan sisi-sisi manusiawi semata,
dibutuhkan mata hati bukan sekedar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman
iman, dan bukan semata kalkulasi duniawi.
Dan semua itu tercermin dalam jawaban Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-
kepada Umar. Beliau memberi gambaran yang membuat sesuatu yang secara
lahiriah aneh dan ganjil bisa jadi secara substansial benar-benar adil.
Bagaimana sesuatu yang yang secara kasat mata terlihat pahit, menjadi
benih-benih bagi akhir yang manis dan membahagiakan.
Jawaban Rasulullah juga memberi pesan agar orang beriman jangan
sampai mudah silau dan terpukau dengan gemerlapnya dunia yang dimiliki
oleh orang kafir. Karena setiap mukmin punya pengharapan lain yang jauh
lebih tinggi, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat, pada keaslian kampung
halaman yang sedang dituju.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ
الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا
ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia
yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan
kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan
berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 561).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar