Ibu adalah ustadzah/guru pertama, sebelum si kecil berguru kepada yang lain. Maka kecerdasan, keuletan, dan perangai sang ibu adalah faktor
dominan bagi masa depan anak.
Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Aktsam bin Shaifi radhiallahu’anhu pernah berwasiat kepada kaumnya. Diantaranya ia mengatakan,
أوصيكم بتقوى الله، وصلة الرحم ؛ فإنه لا يبلى عليهما أصل، ولا يهتصر عليهما فرع، وإياكم ونكاح الحمقاء ؛فإن صحبتها قذر
“Aku wasiatkan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada
Allah dan menyambung tali silaturahmi. Dengan keduanya akar (keimanan)
akan selalu tegak, dan cabangnya tak akan bengkok. Hati-hatilah kalian
jangan sampai menikahi wanita yang dungu, karena hidup bersamanya adalah
kenistaan” [4]
Pernah suatu ketika ada seorang bapak yang mengeluh kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengenai
anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya selalu
berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka Umar pun
memanggil anak itu dan memarahinya.
“Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orang tua
adalah dosa besar yang mengundang murka Allah?”, bentak Umar.
“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa
mengadiliku. Jikalau memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya,
bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya”, tanya si anak.
“Benar”, jawab Umar. “Lantas apa hak anak terhadap ayahnya tadi”, lanjut si anak.
“Ada tiga”, jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik bagi putranya. Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaknya ia mengajarinya menghafal Al Qur’an”.
Maka si anak mengatakan, “ketahuilah wahai Amirul Mukminin, ayahku
tidak pernah melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih
calon ibu yang baik bagiku, ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit
hitam yang dibelinya dari pasar seharga 2 dirham. Lalu malamnya ia gauli
sehingga hamil mengandungku. Setelah aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al
[5], dan ia tidak pernah mengajariku menghafal Al Qur’an walau
seayat!”.
“Pergi sana! Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil, pantas kalau
ia durhaka kepadamu sekarang”, bentak Umar kepada ayahnya [6].
Begitulah, ibu memiliki peran begitu besar dalam menentukan masa
depan si kecil. Ibu, dengan kasih sayangnya yang tulus, merupakan
tambatan hati bagi si kecil dalam menapaki masa depannya. Di sisinya lah
si kecil mendapatkan kehangatan. Senyuman dan belaian tangan ibu akan
mengobarkan semangatnya. Jari-jemari lembut yang senantiasa menengadah
ke langit, teriring doa yang tulis dan deraian air mata bagi si buh
hati, ada kunci kesuksesannya di hari esok.
Demikian di antara peran ibu, karena ibulah madrasah pertama bagi putranya. Hendaknya ibu dan orang tua wali memperhatikan hal ini. Meski di sekolah/madrasah seorang anak dididik begitu hebatnya, namun ketika sampai di rumah ibu atau keluarga tidak melanjutkan didikan tadi dengan sabaik-baiknya. Bisa jadi, didikan di madrasah tadi hanya akan sia-sia belaka. Sehingga sebaiknya antara madrasah dan pihak orang tua /wali siswa senantiasa terkoneksi untuk memantau perkembangan anak baik di rumah dan di sekolah, sehingga jika ada permasalahan bisa segera diselesaikan agar tidak mempengruhi perkembangannya secara psikologis/kejiwaan. (Tambahan dari admin MIM Gaden 2)
—
Catatan Kaki
[4] Ma’rifatus Shahabah karya Abu Nu’aim Al Ashbahani, 3/385.
[5] Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada
kotoran hewan. Bisa juga diartikan sebagai orang yang berkulit hitam dan
berparas jelek (mirip kumbang) atau orang yang emosional (lihat Al Qamus Al Muhith, hal. 977)
[6] Disadur dari khutbah Syaikh Dr. Muhammad Al Arifi, Masuliyatur rajuli fii usratihi.
SUMBER TULISAN dengan sedikit perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar